Sejarah Pura Besakih
Pura Besakih adalah sebuah komplek pura yang terletak di Desa Besakih, Kecamatan RendangKabupaten Karangasem, Bali, Indonesia. Komplek Pura Besakih terdiri dari 1 Pura Pusat (Pura Penataran Agung Besakih) dan 18 Pura Pendamping (1 Pura Basukian dan 17 Pura Lainnya). Di Pura Basukian, di areal inilah pertama kalinya tempat diterimanya wahyu Tuhan oleh Hyang Rsi Markendya, cikal bakal Agama Hindu Dharma sekarang di Bali, sebagai pusatnya. Pura Besakih merupakan pusat kegiatan dari seluruh Pura yang ada di Bali. Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih, Pura Penataran Agung adalah pura yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan merupakan pusat dan semua pura yang ada di komplek Pura Besakih. Di Pura Penataran Agung terdapat 3 arca atau candi utama simbol stana dari sifat Tuhan Tri Murti, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa yang merupakan perlambang Dewa Pencipta, Dewa Pemelihara dan Dewa Pelebur/Reinkarnasi. Pura Besakih masuk dalam daftar pengusulan Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1995.
Sejarah
Pura Besakih merupakan pura terbesar yang ada di Bali yang tepatnya terletak di Kecamatan Rendang,Kabupaten Karangasem. Dulu, tempat sebelum dibangunnya Pura Besakih hanya terdapat kayu-kayuan dalam sebuah hutan belantara. Sebelum adanya selat Bali ( Segara Rupek ) Pulau Bali dan pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum dipisahkan oleh laut, pulau ini bernama Pulau Panjang atau Pulau Dawa. Di suatu tempat di Jawa Timur yaitu di Gunung Rawang (Gunung Raung) ada seorang Yogi atau pertapa yang bernama Resi Markandeya. Karena ketinggian ilmu bhatinnya ,kesucian rohaninya,serta kecakapan dan kebijaksanaan beliau maka oleh rakyat,beliau diberi julukan Bhatara Giri Rawang.
Pada mulanya Resi Markandeya bertapa di Gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung Hyang (konon gunung Hyang itu adalah DIYENG di Jawa Tengah yang berasal dan kata DI HYANG). Sekian lamanya beliau bertapa di sana, mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa agar beliau dan para pengikutnya merabas hutan di pulau Dawasetelah selesai, agar tanah itu dibagi-bagikan kepada para pengikutnya.
Demikianlah kemudian beliau berangkat ke tanah Bali disertai pengikutnya yang pertama yang berjumlah 8000 orang dengan perlengkapan dan peralatan yang diperlukan. Sesampainya ditempat yang dituju,beliau memerintahkan pengikutnya agar mulai merambas hutan. Akan tetapi Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu mati dan ada juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan upacara yadnya (bebanten / sesaji).
Kemudian beliau memerintahkan pengikutnya untuk menghentikan perambasan. Dengan hati yang sedih beliau kemudian mengajak pengikutnya untuk kembali ke Jawa. Beliau kembali ketempat pertapaannya semula untuk mohon petunjuk kepada sang Hyang Widhi.Setelah beberapa lamanya beliau berada dipertapaannya, timbul cita-citanya kembali untuk melanjutkan merambas hutan tersebut. Pada suatu hari yang baik,beliau kembali berangkat ke tanah Bali. Kali ini beliau mengajak pengikutnya yang kedua berjumblah 4000 orang yang berasal dari desa Aga yaitu penduduk yang mendiami lereng Gunung Rawung . Turut dalam rombongan itu para Pandita atau para Rsi. Para pengikutnya membawa perlengkapan beserta alat-alat pertanian dan bibit tanaman untuk ditanam di tempat yang baru.
Setelah tiba di tempat yang dituju, Resi Markandeya segera melakukan tapa yoga semadi bersama-sama para yogi lainnya dan mempersembahkan upakara yadnya, yaitu Dewa Yadnya dan Buta Yadnya. Setelah upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan perabasan hutan tersebut, menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai dan selatan ke utara. Karena dipandang sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka berkat asung wara nugraha Hyang Widhi Wasa, Sang Yogi Markandeyamemerintahkan agar perabasan hutan, itu dihentikan dan beliau mulai mengadakan pembagian-pembagian tanah untuk para pengikut-pengikutnya masing-masing dijadikan sawah, tegal dan perumahan.
Demikianlah pengikut Rsi Markandya yang berasal dari Desa Aga ( penduduk lereng Gunung Rawung Jawa Timur ) menetap di tempat itu sampai sekarang. Ditempat bekas dimulainya perambasan hutan itu oleh Sang Rsi/Yogi Markandya menanam kendi (caratan) berisi air disertai 5 jenis logam yaitu: emas,perak,tembaga,perunggu dan besi yang disebut Panca Datu dan permata Mirahadi ( mirah yang utama ) dengan sitertai sarana upakara selengkapnya dan diperciki Tirta Pangentas ( air suci ). Tempat menanam 5 jenis logam itu diberinama Basuki yang artinya selamat. Kenapa disebut demikian,karena pada kedatangan Rsi Markandya yang ke dua beserta 4000 pengikutnya selamat tidak menemui hambatan atau bencana seperti yang dialami pada saat kedatangan beliau yang pertama. Ditempat itu kemudian didirikan palinggih. Lambat laun di tempat itu kemudian didirikan pura atau khayangan yang diberi nama Pura Basukian. Pura inilah cikal-bakal berdirinya pura –pura yang lain di komplek Pura Besakih. Ada pendapat yang mengatakan bahwa pembangunan pura ditempat itu dimulai sejak Isaka 85 atau tahun 163 Masehi. Pembangunan komplek pura di Pura Besakih sifatnya bertahap dan berkelanjutan disertai usaha pemugaran dan perbaikan yang dilakukan secara terus menerus dari masa kemasa.
Lokasi
Pura Besakih terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali, Indonesia.
Tempat Ibadah agama Hindu PUra Agung
BalasHapus